tak pernah lagi saya melihat kotoran saya berlalu.
Beginikah apa yang dipikirkan oleh pembuat toilet duduk?
"Mengapa saya harus melihat kotoran saya sendiri berlalu, yang sudah biarlah berlalu".
Menurut saya, Melihat kotoran berlalu itu seperti introspeksi terhadap apa yang sudah saya konsumsi. Setiap warna, bentuk dan bau kotoran itu memiliki arti. Jika buang air dengan posisi jongkok, maka otomatis tangan bertumpu di lutut, kepala tak mungkin mendongak, karena bisa kehilangan keseimbangan, hal ini menuntut konsentrasi dan kesadaran yang lebih tinggi.
Yang berlalu tidak bisa dibiarkan berlalu begitu saja jika ingin tau apa yang ingin kita lakukan di masa depan. Pernah suatu ketika saat saya mencoba mencari tahu tentang diri saya sendiri, saya coba bertanya kepada salah satu kakek saya. Beliau kemudian tidak serta merta menjawab pertanyaan saya, beliau hanya menyuruh saya untuk mengambil kertas dan pena. Saat ini saya tiba-tiba terlintas perasaan yang ingin sekali bertanya kepada beliau, mengapa saya harus mengambil kertas dan pena, saya ini sedang bertanya. Pada waktu itu yang terjadi adalah saya hanya menuruti perintah beliau tanpa bertanya apapun.
Kemudian beliau meminta saya membuat dua buah titik yang berjauhan. Setelah saya selesai membuat titik titik itu, beliau melanjutkan untuk kemudian menyuruh saya membuat garis bebas berulang-ulang, baik berputar ataupun corat-coret sekenanya tanpa putus. Menari-narilah sang pena diatas kertas tanpa irama, setelah beberapa saat, beliau menyuruh saya untuk berhenti tetapi dengan tetap menempelkan pena pada kertas, dan disuruh melanjutkan menuju titik yang satu lagi, yang tadi telah dibuat.
Berikutnya beliau bertanya, berapa umur saya, waktu itu saya sedang berumur 24 tahun. "Tulis angka 24 di titik kedua yang barusan menjadi titik akhir garis yang telah dibuat itu, kemudian tulis angka nol pada titik awal" begitulah bunyi lanjutan dari pertanyaan beliau setelah saya jawab. "Sekarang coba kamu kembali ke titik nol dari titik 24 mengikuti garis yang telah dibuat dari titik nol dengan akurat", perintah berikutnya dari beliau. Tentu saja saya mencoba mengulang ke titik nol, namun pada saat ada garis yang bertabrakan, saya bingung memilih jalan garis yang mana yang sebaiknya saya lalui, apakah berbelok, atau tetap lurus, garis lama dan garis baru bertumpangtindih, saya kemudian terdiam. Bagaimana mungkin saya kembali ke titik nol dengan akurat, coretan garis itu begitu jelimet tak karuan, berputar, bertumpangtindih, seperti benang kusut.
"Jika kamu ingin tahu tentang diri kamu sendiri dan mengetahui apa yang sebaiknya dilakukan kelak di masa depan dalam kehidupanmu itu, kamu harus bisa kembali dulu ke titik nol tadi, mengingat kembali dari usia nol bulan sampai umur 24 tahun" sambil menatap saya berkutat dengan kertas berisi garis tak karuan itu, beliau berbicara kepada saya. Sungguh kepala rasanya penuh, ingin sekali bertanya macam-macam, tetapi pertanyaan yang keluar dari mulut saya adalah, "berapakah umur kakek?"
Perbincangan berakhir, kakek saya menutup dengan mengatakan bahwa saya beruntung mendapatkan pelajaran ini di usia 24, karena beliau mendapatkan pelajaran itu disaat umurnya jauh lebih tua daripada saya. Semenjak itu saya selalu berusaha mengingat kembali sampai titi nol, dan sampai saat ini titik terjauh yang pernah saya ingat tentang diri saya sendiri adalah saat saya berumur 3-4 tahunan.
Gara-gara toilet duduk, pelajaran dari kakek saya kembali segar, mungkin saat ini tidak perlu lagi saya meneliti kotoran saya sendiri, karena yang harusnya saya lakukan adalah mengingat untuk selalu memilih dan memilah makanan yang akan saya lahap. Meloncati penelitian tentang diri ke masa dimana kotoran masih berbentuk makanan, baik saat mentah ataupun yang telah matang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar